Sabtu, 03 Maret 2012

Kebijaksanaan Seorang Guru

Suatu ketika dalam hidupnya, Zi Gong pernah bertanya kepada Sang Guru Bijak tentang bagaimana seseorang harus bersikap di dalam hidup. Sang Guru Bijak tidak menjawab dengan kata-kata belaka. Beliau mengajak Zi Gong masuk ke dapur. Ketika Zi Gong bingung dan menunggu, gurunya sudah asyik menyiapkan perapian dan mulai memasak air.
Kala air mulai mendidih, Sang Guru Bijak keluar rumah dan kemudian masuk kembali sambil membawa sebongkah batu. Kemudian batu itu dimasukkannya kedalam air yang mulai mendidih. Sang Guru Bijak merebus batu!. Dalam hati Zi Gong bertanya-tanya tentang keanehan Sang Guru. Namun ia belum berani bicara dan diam menunggu. Selang beberapa waktu Sang Guru Bijak mengeluarkan sang batu dan menaruhnya diatas meja. Tiba-tiba Sang Guru Bijak berkata,
"Kamu jangan seperti Batu" Mulut Zi Gong menganga
"Batu ini begitu keras, direbus didalam air panas mendidih pun tidak berkurang kerasnya"
 “ Orang seperti batu, sangat kaku, merasa paling benar, paling jagoan dan tidak bisa berubah"
"Padahal kehidupan selalu berubah"
"Diatas pohon tinggi masih ada awan
"Diatas awan masih ada langit"
"Diatas langit masih ada Tuhan"
"Bagaimana mungkin kita, manusia biasa, boleh merasa diri paling sempurna?"

Zi Gong tersadar. Sang Guru sedang memberinya pelajaran lewat contoh sederhana. Inilah yang acap kali membuat Zi Gong dan saudara-saudara seperguruannya begitu mengagumi cara Gurunya mengajar. Pelajaran yang begitu rumit dan dalam sekali, pun bisa diuraikannya secara amat sederhana. Setelah merenung sejenak Zi Gong lalu bertanya,
"Guru, saya harus bersikap bagaimana?".
Seperti tadi, kali ini Sang Guru Bijak pun tidak menjawab. ditambahkannya, kayu ke dalam perapian dan sekali lagi beliau beranjak ke luar rumah. Tak lama kemudian ia membawa sebongkah salju yang mengeras.
Tanpa berkata-kata bongkahan salju itu dimasukkannya kedalam air yang bergolak panas. Dalam hitungan detik, salju pun mencair. Hilang dari pandangan, luluh bagai air.
"Kamu jangan seperti bongkahan salju"
"Kelihatan keras, berkarakter, punya prinsip dan teguh pendirian"
"Namun baru diuji sebentar saja semuanya lenyap tak berbekas"
"Suka mengecam orang lain yang tidak jujur, berlaku sok suci"
"namun ketika dihadapkan pada kehidupan nyata, semua idealismenya hancur tak berbekas"
Zi Gong tersadar. Dia kini sudah dihadapkan dua ekstrim: keras kepala versus tidak berpendirian. Punya prinsip kaku versus prinsip fleksibel banget. Dia kini ingat nasihat Sang Guru sebelumnya. Terlalu kiri tidak baik. Terlalu ke kanan juga tidak baik.Terlalu cepat tidak tepat. Terlalu lambat juga tidak tepat. Terlalu maju perlu direm. Terlalu lambat perlu didorong. Yang terbaik adalah Tengah Sempurna.

Ketika Sang Guru memandangnya sambil tersenyum. Zi Gong tersentak dari lamunannya.Sambil menghormat,
"Saya memahami penjelasan Guru"
"Namun saya belum menemukan jawaban tentang bagaimana saya seharusnya menyikapi kehidupan"
"Mohon Guru berkenanmemberikan petunjuk lebih lanjut"
Seperti sebelumnya, Sang Guru Bijak juga tidak menjawab. Kini ia pun bangkit dari tempat duduknya dan segera beranjak. Tidak ke halaman depan rumah, melainkan ke belakang. Tak lama kemudian Sang Guru
membawa dua butir telur ayam ditangannya. Telur yang satu kemudian dipecahkannya di depan Zi Gong. Segera Zi Gong bisa melihat cairan telur yang telah meleleh membasahi meja. Cari namun kental. Telur kedua kemudian dimasukan kedalam air yang mendidih. Setelah berdiam cukup lama, tiba-tiba Sang Guru Bijak mengeluarkan telur yang sudah matang dan megelupasnya. Segera tercium telur yang sudah matang dan megelupasnya. Segera tercium harum aroma telur rebus dan terlihat putih ranumnyatelur matang. Telur yang
semula cair dan kental dikala mentah, kini berubah menjadi lebih keras sesudah matang.
"Kamu pun jangan menjadi telur rebus"
"Baru belajar sedikit, sudah merasa mampu menguasai semua"
"Baru paham secuil ayat suci, merasa sah memonopoli kebenaran, sombong, ekstrem, takabur."

Cukup lama Zi Gong merenung. Kalau mau jujur, dirinya pun masih ada unsur telur rebusnya. Terkadang di bawah sadarnya, ia masih suka menyombongkan diri sesekali. Ia harus berubah. Sang Guru telah dengan jitu
menyentilnya secara tidak langsung. Setelah sadar, wajah Zi Gong langsung bersemu merah kala gurunya
tersenyum-senyum memandangnya dari tadi. Seakan telah terbuka semua rahasia hatinya.

Tapi mengapa harus malu? Bukankah Sang Guru memang sudah memahami segenap kekuatan dan kelemahannya? Tanpa menunggu pertanyaan Zi Gong, Sang Guru Bijak kembali bergegas ke belakang. Diambilnya sebuah wortel dari kebun. Seperti sebelumnya, wortel itu pun dimasukkannya ke dalam air mendidih. Selang beberapa waktu, wortel itu diangkatnya dari air rebusan.
"Zi Gong, kamu pun tidak boleh menjadi wortel rebus."

Sejenak Zi Gong tercenung. Dipegangnya wortel rebus itu sambil dipencet-pencet. Wortel yang semula keras kini menjadi lunak. Namun ia tetap bisa dikenali sebagai wortel. Mengapa gurunya mengatakan seperti itu? Bukankah wortel melambangkan fleksibilitas, keluwesan, namun sekaligus kekukuhan untuk mempertahankan prinsip, sehingga tetap tidak kehilangan jati diri? Mulut Zi Gong ingin meluapkan banyak kata-kata, berjuta argumen; namun entah mengapa seakan terkunci. Sang Guru tetap tersenyum.
"Zi Gong, wortel memang luwes, fleksibel, mampu beradaptasi, mampu beradaptasi menyesuaikan diri"
"Hebatnya lagi ia tidak kehilangan jati dirinya"
"Lambang seseorang yang teguh mempunyai prinsip, namun tidak kaku, Bagus"
"Tapi, cobalah kamu lihat air ini. air ini tetap tidak berubah"
"Tidak ada nilai tambah. Apa artinya?"
"Pengorbanan wortel itu menjadi sia-sia. Tidak mengubah apa-apa"

Mata Zi Gong membelalak lebar, wajahnya memancarkan roma kegembiraan. Sekali lagi ia mendapat pencerahan dari gurunya yang amat bijaksana. Ia sungguh- sungguh beruntung mempunyai guru yang begitu arif dan bijaksana. Sampai di sini Zi Gong sudah tidak merasa penasaran lagi. Ia seakan sudah cukup terpuaskan dengan empat contoh yang diberikan gurunya. Dia tidak sadar bahwa Sang Guru sudah mengganti airnya, menambahkan kayu bakar dan mulai merebus air kembali. Dia baru sadar kembali kala gurunya menaruh bongkahan gula batu kedalam air mendidih.
"Jadilah kamu gula batu, muridku"
"Tubuhnya memang hancur seperti bongkahan salju, tapi bukan karena ia tidak punya prinsip"
"Kelihatannya kalah, tapi sebenarnya dialah yang menang"
"Yang menguasai yang membuat air berubah manis"
"Biarkan orang menyangka diri merekalah yang menang"
"Namun sesungguhnya telah dikalahkan secara cerdik dan halus"
"Bila kamu bisa meresapi dan menghayati makna filosofi gula batu ini"
"Kamu akan bisa menerapkanya di bidang apa pun di sepanjang hidupmu"
"Itulah jawaban atas pertanyaanmu semula, bagaimana sikap terbaik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar