oleh : Isma Swastiningrum (SMA)
“Inggris?! Birmingham?! Wah, nggak nyangka kau Ren..” Kata Ugi menggeleng-gelengkan kepala padaku. Sore itu aku dan dia sedang menggembala kambing di dekat sawah yang hijau. Aku duduk di bawah pohon sedangkan dia bertengger semacam Simpanse di atas pohon. Kami sedang berbincang tentang khayalan.
“Man jadda wajada, gitu Gi kata buku, sekarang kitakan sudah kelas dua SMA, pokonya lima tahun dari sekarang aku harus bisa kuliah di sana. Kamukan laki-laki Gi, apa coba khayalan kamu?”
“Rahasia dong, ntar kamu niru-niru lagi, haha..”
Pasti selalu saja begitu, aku mengambil kerikil dan ku lemparkan ke dia. Dari atas, seperti kebiasaan anehnya membuat hal-hal yang unik dari benda-benda yang dilihatnya, dan saat itu dia tengah mengkombinasikan ranting, benang wol, batu menjadi sebuah pengungkit sederhana. Wajahnya menderita sekali, kasian anak yatim itu.
“GIIIII…. UGIIII…” Teriak seseorang, Ugi langsung turun dari pohon. “Ibumu Gi, ibumu!”
“Kenapa dengan ibu Bu Dhe?!”
“IBumu meninggal Le..”
Jantungku langsung berhenti berdetak, Ugi histeris, berlari secepat-cepatnya menuju rumah. Sekarang dia sudah tak punya siapa-siapa lagi.
Setahun kemudian……
Dia tinggal sendirian di rumah itu, apapun dia lakukan sendirian. Sebulan yang lalu aku bahagia saat upacara namanya dipanggil ke depan menerima piala atas prestasinya sebagai juara II di ajang olimpiade matematika tingkat provinsi. Hari ini adalah hari pembagian rapot semester lima, tak ada yang bisa dimintai tolong untuk mengambil rapotnya, jadi dia mengambil rapotnya sendiri. Aku melihatnya dari luar jendela kelas, sikapnya yang ramah membuat seorang bapak yang duduk di sampingnya nyaman mengobrol bersamanya. Aku ingin menangis melihatnya.
Dan inilah saat yang ku tunggu-tunggu, pembacaan juara, sepuluh besar kelas orang tuannya dipanggil untuk berdiri sejenak di depan kelas. Aku berharap rangkingku meningkat, aku ingin lihat bapakku tersenyum bangga akan prestasiku.
“Rangking tiga, Karendia….” Alhamdulillah aku dapat juara tiga.
“Rangking dua Melida Erfanda dan juara yang ditunggu-tunggu, rangking satu, beri tepuk tangan yang meriah untuk Ugi Rasyan Nalendra…”
Ah, anak itu… dengan wajah rendah hatinya ia maju ke depan.
Empat bulan kemudian, sore setelah kelulusan…
Seperti biasanya aku menggembala kambing di dekat sawah.
“Karen..!!” Panggil Ugi yang datang dari arah depan membawa lima ekor kambingnya yang dulu cuma dua ekor.
“Cie, cie, yang dapat juara umum sekolah…” Ledekku
“Alhamdulillah ya, sesuatu sekali, hehe…” Katanya duduk di sampingku sambil memeluk kambingnya satu per satu.
“Udah gila apa kamu, kambing kok di peluk, kayak mau pergi saja, wew…”
“Iya Ren, kambingku mau aku jual semua”
“Apa?!”
“Aku mau merantau ke Bandung, uangnya sambil ku gunakakan buat daftar kuliah, hehe…” Katanya tanpa dosa, nggak sadar apa perasaanku sakit banget mendengarnya. Ups…
“Rumahmu?!’
“Biar Bu Dhe yang ngurus. Mungkin ini hari terakhir kita menggembala bersama. Ingat Ren, aku catat Birminghammu di kepalaku, harus kamu wujudkan mimpi kamu itu, bener nggak Mbek? Hehe… kambingku imut-imut, seimut kamu…”
“Enak aja kamu…” Bantahku sambil menekuri kata-kata Ugi, Birmingham, kataku menetapkan hati.
“Kenapa ya Ren, di dekatmu, aku ingin selalu belajar…”
“Wuih, belajar apa?!”
“Belajar menjadi yang terbaik buat kamu…” Katanya menatapku dari samping, aku merasa salting.
“Ihhh… gombal…” Bantahku.
‘Benarkah itu Gi??” Kataku dalam hati berharap. Tak mampu ku menatap wajahnya.
“Sudah petang, ayo kambing-kambingku, kita menuju juragan barumu. Ren, aku cabut dulu ya..”
Ugi pergi meninggalkanku yang terpaku sendirian. Ku lihat dia dari belakang, tak terasa air mataku mengalir, setelah beberapa jauh, dia membalikkan badannya kepadaku, berdada melambaikan tangannya, sambil tersenyum manis sekali…
“UGIIIIIIIII….. JANGAN PERGIIIIIIIII…..” Teriak batinku.
Empat tahun kemudian…
“Alhamdulillah, akhirnya sidang skripsiku sukses. Tinggal tunggu pengumuman beasiswa. England… I’m coming…” Kataku bahagia, keluar dari ruang sidang. Setelah menunggu dan menunggu, pengumuman beasiswa itu pun datang dan…. Hancurlah hatiku, beasiswa yang aku usahakan mati-matian ternyata gagal…
“Nggak! Dunia belum berakhir, gagal satu, sukses seribu!”
Aku makin giat instropeksi kegagalan aku. Hari ini aku berkunjung ke Kedutaan Besar Inggris, mencari informasi beasiswa lainnya kesana.
“Yes, thank you so much, Sir” Ku dengar suara yang sangat ku kenal itu dari dalam ruangan Pak Dubes. Pintu ruangan dibuka, dan….
“KAREN!!” Teriaknya, aku langsung lumpuh seketika.
“Ini beneran kamu Ren? Ren!! Aku dapat beasiswa di Oxford Ren, aku dapat beasiswa kesana…” Katanya dengan mata berkaca-kaca.
“Beneran itu, Gi?!” Kataku serasa ingin menangis saking bahagiannya, dia mengangguk.
“Bagaimana dengan Birmingham kamu Ren?” Aku tersenyum pahit.
“Aku gagal, Gi…” Ku tundukkan kepalaku, dia memegang pundakku.
“Inggris, UK, United Kingdom, tapi aku menggantinnya dalam khayalanku, bukan United Kingdom lagi, tapi UGI KAREN, dan kita akan pergi kesana sama-sama. Jika K tidak ada maka U juga tidak ada dan U tidak akan pergi…” Aku menagis mendengarnya, Ugi langsung menggeret tanganku masuk ke ruang Pak Dubes. Ada lima beasiswa tersedia di UK. Dengan bantuan Ugi akhirnya khayalan itu terwujud, mimpi itu terwujud, aku di terima di Birmingham University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar