Sabtu, 10 Maret 2012

Cerpen 8 :: I LOVE MATH

oleh : Maria Wahyu Widyastuti (MABA)


          Matraman, 4 Juni 2010, kelas XI IPA 2, SMAN 31 Jakarta
  • Suasana kelas hening.Terlalu hening mungkin. Seorang lelaki berusia paruh baya dengan perawakan mengerikan dan muka dingin sedang membagi selembar kertas pada masing-masing anak yang duduk di bangku murid. Dia adalah seorang guru, guru matematika, yang sangat mengerikan. Dan semua murid terdiam dan terpaku menanti hasil akhir mereka, yaitu ujian akhir semester.

    ”Riana Andiani”, seru si bapak keras.
    “Ya, Pak”, sahut sang pemilik nama tersebut. Sejenak ia melihat hasil ulangannya, lalu.. ”Liiiii, gue seneng banget, seneng banget! Akhirnya dapet nilai di atas 30 juga!” bisiknya pada teman sebangkunya. Teman sebangkunya melirik hasil ulangan sang pemilik nama. Ada nilai 65 disana. Dan ia pun ikut tersenyum kecil untuk ikut membahagiakan temannya.
    ”Lilyana Widyati”, kembali si bapak berseru nyaring.
    ”Ya, Pak”, seru Lili, teman sebangku Nana, sang gadis pemilik nama tadi. Lili melakukan hal yang sama dengan teman sebangkunya, namun ia kembali ke tempat duduk dengan raut wajah kecewa dan putus asa.
    ”Berapa, Li?” tanya Nana. ”Biasa lah, Na”, bisiknya sambil memperlihatkan kertasnya. Angka 30 tertera disana. Memang sudah menjadi hal yang sangat wajar di kelas matematika yang diajar oleh bapak itu, untuk mendapat nilai di bawah standar. Dan sudah menjadi hal yang sangat wajar pula bagi Lili untuk mendapat nilai 30, yaitu nilai standar untuk poin diketahui, ditanya, dan diabaikan, yang seharusnya diisi dengan dijawab.
    Semua anak telah mendapat nilai mereka masing-masing, dengan ekspresi ala mereka masing-masing. sang guru meninggalkan kelas, dan kelas mulai berubah menjadi pasar dadakan. Semua berebut ingin menceritakan nilainya pada teman masing-masing, dan penasaran dengan nilai teman-temannya. Begitu pula dengan kedua sahabat, Lili dan Nana. Berikut secuil percakapan mereka:
    ”Gile Na, ancur banget nilai gue masa Na. Mau jadi apa nih UN matematika gue tahun depan?” Lili membuka percakapan.
    ”Yaudahlah Li, makanya kalo ga suka sama gurunya jangan jadi ga suka sama pelajarannya dong”
    ”Ya gimana gue mau suka coba Na? Ya lo tau sendiri lah ya, bapaknya jarang masuk gitu. Sekalinya masuk, Cuma buat nyuruh baca terus ngerjain soal sendiri. Magabut banget sih”, Lili mulai dongkol.
    “Yaudah, pokoknya elo belajar aja ya Li. Kalo ada apa-apa bilang gue aja, ntar gw bantu kok pasti. Inget tahun depan udah UN tau”, ujar Nana, sambil perlahan merebut kertas ujian Lili. Tentu Lili tidak menyadarinya, saking sibuknya ngedumel sendiri. Lalu, Nana menulis besar-besar di bawah kertas ujian Lili tadi dengan tinta pink : “I LOVE MATH ”
    Akhirnya perbuatannya terendus juga. Lili melihat kertasnya, dan...”NANAAAAAAAAA...!!!!! Apa banget sih lo nulis gituan?! Rese lo! Gue kesel woooooi!!”
    Lili ingin menarik kertasnya kembali. Nana ngeles, tidak mau ”mahakarya”-nya terkena kejamnya tip-ex Lili. Kejar-kejaran seru pun terjadi di kelas itu. Sekali lagi, segalanya sudah biasa di kelas itu.

    ***
    Matraman, 12 Juni 2010, kelas XI IPA 2, SMAN 31 Jakarta
    Rapor mulai dibagikan. Tampak ruangan penuh dengan deretan bapak dan ibu yang masih menanti rapor anak mereka. Disana terselip Lili dan bapaknya. Mereka pun menunggu rapor Lili, dengan harap-harap cemas yang luar biasa, terutama bagi Lili, dan terutama lagi untuk nilai matematika Lili.
    Hasil pun dibagikan. Dan...tepat sekali. Nilai 69 tertera disana. Standar nilai agar tuntas yaitu 70. Tidak terlalu kecil memang, tapi sangat menyesakkan. Dengan ini, musnah sudah segala angan-angan yang dibangun Lili. Kesempatan untuk kuliah dengan mudah tanpa harus mengikuti ujian yang sulit lenyap tanpa sisa. Ya, Lili telah kehilangan kesempatan untuk mengikuti SNMPTN undangan, PNJ, maupun sederet kesempatan emas lainnya. Jelas Lili harus memenuhi nilai standar semua mata pelajaran untuk mendapatkannya.
    Semua ini memang salah Lili, namun tidak sepenuhnya. Lili sebenarnya adalah anak yang cerdas, juga di bidang matematika. Terbukti jelas di peringkatnya selama SD, SMP dan SMA kelas X yang selalu berada di peringkat 5 besar. Matematikanya juga baik, sangat baik mungkin. Hanya dengan menyimak penjelasan gurunya, dengan mudah ia langsung mengerti.
    Dengan mudah pula ia mendapat nilai baik, namun sayangnya ia selalu kurang mau berbagi ilmu dengan teman-temannya. Mungkin karena gayanya yang terlalu cuek, jadi teman-temannya kurang percaya akan kecerdasannya. Sementara, banyak di antara teman-temannya yang berspekulasi bahwa Lili mencontek. Faktanya, tidak sekali pun Lili pernah tertangkap basah mencontek. Ia tetap tenang di mejanya, santai dan cuek.
    Beruntunglah Lili, gurunya selama ini sempat menjelaskan. Namun keadaan jauh berbeda sekarang. Gurunya saat ini sangat jarang, bahkan sama sekali tidak menjelaskan sepertinya. Ia hanya dipaksa membaca buku, memberi soal di atas standar seorang siswa SMA, dan jika ada soal yang tidak mengerti, ia hanya menulis dengan sangat cepat di papan tulis, dan membacakan tulisannya. Ya, MEMBACAKAN TULISANNYA, dan bukannya menjelaskan.
    Jelas Lili kesal sekali. Guru macam apa itu. Magabut. Apalagi di pelajaran matematika yang sangat perlu pemahaman, penjelasan konsep sangat dibutuhkan. Namun, ia dan teman-teman sekelasnya tidak ada yang berani melawan, karena guru itu terkenal dengan ketegasannya, selain perawakan dan suaranya yang membuat tengkuk merinding.
    Namun, ya sudahlah. Semua telah terjadi. Mau apa lagi. Yang lalu biarlah berlalu, meski segalanya memberi luka di hati Lili, sesuatu yang traumatis tentang matematika.

    ***
    Matraman, 19 Januari 2011, ruang guru, SMAN 31 Jakarta
    Lili berada di ruang guru, duduk berhadapan dengan guru matematikanya di kelas XII. Gurunya kali ini sangat jauh berbeda dengan guru matematikanya dulu. Ia melihat reputasi dan perjalanan nilai matematika di rapor Lili, dan merasa terusik untuk mendengar cerita Lili. Lalu, di ruang guru yang mulai kosong itu, Lili mulai bercerita tentang segalanya. Tentang gurunya yang magabut, guru-guru sebelumnya, serta tentang ketertarikannya pada bidang matematika yang belum terungkap.
    ”Jadi kamu tertarik ingin mendalami matematika Li? Ibu lihat, kamu memiliki bakat loh, Cuma kurang menyadarinya”, ujar sang ibu guru lembut.
    ”Iya bu, Lili juga baru sadar kalo Lili suka matematika. Apalagi pas Lili diajarin sama ibu. Ibu baiiiik banget. Beda banget sama pak itu tuh.”
    ”Sssst... jangan gitu. Kamu ga tau sih, pekerjaan guru itu berat loh. Beneran deh. Ibu juga ngerasain betapa beratnya”, sambung ibu guru. Nah loh, si ibu pun mulai ikut curhat.
    ”Terus, kenapa ibu mau jadi guru? Matematika lagi, pelajaran killer”, sambung Lili. Nampaknya suasana diantara keduanya telah mencair dan keakraban mulai menyeruak.
    ”Begini Li. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kamu harus tanamkan itu di hatimu ya nak. Membuat dirimu sendiri pintar, itu hal biasa. Yang luar biasa adalah membuat lingkunganmu tertular oleh kepintaranmu. Bukankah jauh lebih menyenangkan jika mendapat nilai baik bersama-sama dibanding dengan kamu sendiri yang mendapat nilai baik? Maka berbagilah, Li.
    ”Oiya, satu lagi Li. Mungkin harta akan habis jika dibagikan. Tapi percayalah, ilmu kamu pasti akan bertambah jika terus dibagikan. Dan jangan pikirkan imbalannya. Tadinya ibu hanya dibayar dengan pahala dan doa. Jiwa sosial ibu tergerak melihat anak-anak di sekitar lingkungan ibu, lalu ibu mencoba mengajar mereka. Ibu mengajar susah-payah, dan itu semua ibu lakukan ikhlas, tanpa bayaran apapun.
    ”Ibu hanya bahagia melihat mereka senang, apalagi dapat melihat beberapa dari mereka sekarang sudah berhasil. Tak apalah ibu tidak dibayar, melihat senyum mereka adalah kepuasan mendalam bagi ibu”, sang ibu guru menasihati sambil agak sedikit menerawang, mengingat pengalaman masa lalunya.
    Lili mengangguk-angguk, ia senang sekali mendapat nasihat yang dianggapnya begitu berharga dari gurunya. Kegalauannya mengenai jurusan apa yang hendak dipilih, sekaligus kekesalannya setahun yang lalu karena gugur dari jalur masuk PTN tanpa tes, segalanya lenyap sudah. Digantikan oleh semangatnya yang baru. Semangat untuk mengajar, mendidik, mengabdi, serta membantu setiap muridnya kelak untuk mencintai matematika. Seperti dirinya.

    ***
    Pedongkelan, 21 Desember 2011
    ”Kak Liliiiii.. kak Liliiiiii”, belasan anak di lingkungan yang agak kumuh ini segera mengerubungi Lili dan bergantian mencium tangan Lili. Sungguh, Lili terharu. Tak pernah terbayangkan olehnya, menjadi seorang calon guru akan begitu disayangi seperti ini. Padahal, ilmu yang dibawakannya adalah matematika.
    Sekarang, Lili sedang melanjutkan kuliahnya dengan mengambil program studi pendidikan matematika. Memang, Lili adalah anak yang benar-benar cerdas. Kegagalan di jalur tanpa tes membuatnya begitu bersemangat untuk ”balas dendam” di jalur tes, mesti tesnya sungguh berat. Dan akhirnya, ia berhasil menembusnya.
    Tiba-tiba, Lili teringat akan masa SMA-nya dulu. Lili sekarang jauh berbeda dengan Lili yang cuek dulu. Ia begitu bersemangat membagikan ilmunya pada semua orang, dan begitu berusaha agar semua orang turut mencintai matematika, seperti dirinya. Ia teringat pada quotes guru tersayangnya, ” Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain” serta ” Mungkin harta akan habis jika dibagikan. Tapi percayalah, ilmu kamu pasti akan bertambah jika terus dibagikan”. Keduanya menjadi penyemangat yang sangat baik bagi dirinya. Rasa syukur dan rasa terima kasih tak ada habisnya keluar dari lubuk hatinya yang terdalam untuk sang guru terkasih.
    ”Halooooo semuanyaaaa, kakak punya hadiah loh buat kalian. Udah lama sih, tapi masih bagus dan ilmunya masih berguna kok”, ujar Lili sambil mengeluarkan setumpuk buku yan dibawanya khusus untuk anak-anak disana. Buku-buku pelajaran untuk SD, bekasnya dulu.
    Tanpa ia sadari, di salah satu buku terselip ulangan matematikanya dengan nilai 30 dulu. Sengaja disembunyikan di tumpukan buku lama. Sayangnya, buku itu telah berpindah tangan ke salah seorang anak. Anak itu membuka-buka, menemukannya kertas itu, dan tertawa terbahak-bahak melihatnya. Nilai 30, dengan tulisan ”I LOVE MATH ” berwarna pink. Sesuatu yang kontras. Namun, biar bagaimanapun, Lili sangat berterimakasih pada Nana, sahabatnya itu. Seseorang yang hampir terlupa olehnya. Sekarang, Lili dapat berkata pada Nana dan pada dunia, ”I LOVE MATH ”
    Eits, tapi bukan dunia Lili namanya kalau tidak kacau. Sekarang, suasana benar-benar kacau karena anak-anak disana berebut ingin melihat sendiri kertas ujian Lili dengan nilai 30 itu. Nilai yang ”nggak banget” untuk seorang guru matematika. Sedangkan Lili mati-matian melindunginya agar tidak sobek, karena tarik-tarikan tangan-tangan mungil, tangan-tangan mungil lainnya menjambak rambut Lili, apapun agar mereka dapat melihat ulangannya. Lagi-lagi Lili gondok, namun seulas senyum ikhlas tetap terpancar di wajahnya yang begitu cerah...
^^ END ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar